Pages

Rabu, 30 Desember 2009

Kunci Pengelolaan Keuangan Adalah Budgeting

Sumber : http://blog.keuanganpribadi.com/

Saya seringkali mendapatkan email yang isinya kurang lebih seperti ini:

“Pak David, saya ingin sekali berinvestasi seperti yang Anda sebutkan dalam artikel Anda. Tetapi setiap bulan seluruh pendapatan saya habis hanya untuk berbelanja. Bagaimana caranya agar saya dapat menyisakan sebagaian uang saya untuk investasi?”

Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang bagus sekali. Pertanyaan ini mewakili bagian inti dari ilmu pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga.


Apabila Anda pernah membaca Finansial Revolution, mungkin Anda masih ingat ada 3 tahap yang diajarkan oleh Tung Desem Waringin untuk mencapai finansial freedom:
1. Berbelanja lebih sedikit daripada pendapatan (gaji).
2. Menginvestasikan selisihnya.
3. Menginvestasikan kembali pokok dan bunga investasi untuk pertumbuhan bunga majemuk.
Disini kita lihat bahwa ilmu dasar untuk mencapai finansial freedom adalah Anda harus dapat mengatur pengeluaran Anda supaya selalu lebih kecil dari pada pendapatan. Setelah itu barulah Anda akan mendapatkan sejumlah uang untuk diinvestasikan. Bila Anda gagal di tahap 1, Anda tidak bisa melangkah ke tahap-tahap berikutnya.

Dalam ebook panduan “Keuangan Pribadi: Resep Rahasia Dibalik Kesuksesan Kaum Kaya” yang dijual hanya secara online di www.KeuanganPribadi.com saya menuliskan 3 langkah besar untuk menjadi kaya. Langkah-langkahnya kurang lebih sama dengan ajaran TDW, yaitu:
Memotivasi diri Anda. Dalam langkah ini Anda membuang pikiran-pikiran negatif yang menghalangi Anda dari jalan menuju kekayaan. Ingat, Anda tidak dilahirkan untuk menjadi miskin. Meminjam kata dari Andrie Wongso, “Sukses adalah Hak Saya”.
Memberdayakan Dana. Langkah ini adalah jawaban dari pertanyaan diatas. Dalam langkah ini Anda diajarkan untuk mengoptimalkan penggunaan uang Anda, sehingga pendapatan Anda akan menjadi lebih besar daripada pengeluaran. Disini Anda akan mendapatkan sisa uang yang dapat diinvestasikan untuk tahap berikutnya.
Melipatgandakan Kekayaan. Disini saya menuliskan berbagai macam produk investasi dengan konsep compound interest (bunga majemuk). Konsep bunga majemuk adalah sama dengan langkah kedua dan langkah ketiga pada ajaran TDW, yaitu Anda menginvestasikan sejumlah uang. Kemudian Anda menginvestasikan ulang pokok dan bunga investasi Anda sebelumnya. Sehingga bunga yang Anda dapatkan dari investasi dapat turut berbunga. Dengan menggunakan konsep ini, maka Anda dapat melipatgandakan nilai investasi Anda.

Ilmu dasar dari pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga terletak pada langkah kedua. Memberdayakan Dana. Dalam langkah inilah Anda mendapatkan jawaban dari pertanyaan di atas.

Apakah jawabannya? Kunci jawabannya adalah “Budgeting”. Dalam proses budgeting, Anda membuat anggaran pendapatan dan belanja Anda. Biasanya secara bulanan. Kemudian, Anda secara disiplin mengatur pengeluaran Anda pada bulan tersebut agar sesuai dengan anggaran Anda.

Contohnya, misalkan saja pendapatan Anda adalah dari gaji, yaitu Rp. 4.500.000,-


PENDAPATAN:
Gaji Rp. 4.500.000,-
==================================
TOTAL PENDAPATAN Rp. 4.500.000,-

Dari total pendapatan tersebut, bagikan jatah untuk pos-pos pengeluaran Anda. Ingat, Anda harus menyisakan minimal 10% dari total pendapatan Anda untuk TABUNGAN. Tabungan inilah yang nantinya akan digunakan untuk berinvestasi.

BELANJA
Makanan/Kebutuhan Harian Rp. 1.500.000,-
Pakaian Rp. 300.000,-
Pendidikan Rp. 500.000,-
Kesehatan Rp. 300.000,-
Rekreasi Rp. 500.000,-
Transportasi Rp. 300.000,-
Asuransi Rp. 250.000,-
Tabungan Rp. 450.000,-
Pembayaran Kredit Rp. 500.000,-
Lain-lain Rp. 400.000.-
=========================================
TOTAL BELANJA Rp. 4.500.000,-

Setelah Anda mengatur anggaran Anda, maka jalanilah secara disiplin bulan tersebut agar sesuai dengan anggaran. Apabila Anda menjatahkan pos pengeluaran untuk pakaian sebesar Rp. 300.000,-, maka Anda harus konsisten dalam berbelanja. Dalam memilih pakaian, Anda tidak boleh membeli yang lebih mahal dari secara total Rp. 300.000,-. Dan apabila Anda sudah membelanjakan seluruh jatah pakaian Anda, maka Anda sudah tidak boleh membeli pakaian lagi pada bulan yang sama. Begitu juga untuk pos-pos pengeluaran lainnya.
Baca Selengkapnya ......

Pengelolaan Keuangan Untuk Pasangan yang Baru Menikah

Pertanyaan:

Terima kasih atas kebaikan anda membuka konsultasi gratis mengenai kondisi keuangan. Saya mempunyai masalah mengenai keuangan keluarga yang harus segera mendapatkan solusinya. Saya berikan data mengenai pemasukan dan pengeluaran rutin kami sebagai berikut :
Gaji saya dan istri 1 bulan Rp. 2.200.000,-
Pengeluran rutin :
Bayar hutang kartu credit @ Rp. 450.000,-
Bayar hutang koperasi @ Rp. 500.000,-
Bayar Listrik +/- Rp. 90.000,-
Bayar Telepon +/- Rp. 60.000,-
Beli pulsa berdua Rp. 150.000,-
Bensin Motor 1 bulan Rp. 100.000,-
Iuran RT/RW Rp. 20.000,-
Arisan Lingkungan komplex Rp. 50.000,-
Asuransi investasi great link Bank NISP Rp. 200.000,-
Biaya terapi kesehatan 8x sebulan Rp. 160.000,-

Ditotal Rp. 1.780.000,- sisa dari itu untuk makan sehari-hari. Nah dari data diatas bagaimana saya harus menyisihkan untuk menabung dan dana cadangan kebutuhan mendadak seperti sakit, ban kempes, service motor, beli perlengkapan diri. Apakah ada yang perlu saya kurangi? Apakah saya harus mempunyai pekerjaaan sampingan? Kira-kira apa yang pantes bila harus mempunyai pekerjaan sampingan ? Apakah ikut internet marketing atau MLM atau apa kek? Saya ikut internet marketing o/ anne ahira tapi belum berhasil.

Info tambahan, pekerjaan saya adalah seorang sales kaos, insentivenya tidak tetap, kalo mau nyambi dagang kaos nanti malah di PHK karena o/ kantor ga bole jualan barang sejenis.

Mohon jalan keluarnya, terima kasih atas kesempatan yang diberikan.


Jawaban:

Dari hasil analisa kami, permasalahan keuangan Anda terletak pada sisi hutang. Dari total pendapatan Rp. 2.200.000,-, Anda harus membayar hutang yang totalnya Rp. 950.000,-. Dari hasil perhitungan kami, rasio kemampuan pelunasan hutang Anda adalah 43,2%. Artinya 43,2% dari total pendapatan Anda digunakan hanya untuk membayar hutang. Padahal seharusnya rasio ini berada dibawah 35%. Dengan rasio kemampuan pelunasan hutang yang setinggi, Anda mengalami kesulitan untuk membayar kebutuhan lainnya.

Terus terang saya merasa kaget ketika membaca bahwa Anda memiliki kartu kredit. Dengan tingkat pendapatan sekarang seharusnya Anda belum menggunakan kartu kredit, sebab Anda sangat riskan terjebak masalah kredit macet. Saran dari saya adalah kartu kredit Anda disimpan di rumah, dan hanya digunakan untuk keperluan yang sangat mendesak, seperti untuk membiayai pengobatan keluarga.

Dalam pertanyaan Anda, Anda menyebutkan dana cadangan. Dalam ilmu pengelolaan keuangan pribadi atau keluarga, kita perlu menyiapkan dana likuid yang hanya digunakan untuk keperluan darurat. Dana ini kita namakan dengan dana darurat. Sebaiknya kita menyediakan dana darurat sebesar 3 hingga 6 kali pengeluaran bulanan kita. Untuk kasus Anda, besarnya adalah Rp. 6.600.000,- hingga Rp. 13.200.000,-.

Masuk ke pertanyaan pertama Anda, pengeluaran apakah yang dapat Anda kurangi. Dari hasil analisa kami, hanya beberapa poin dari pengeluaran Anda yang dapat dikurangi:
Poin 1 bayar hutang kartu kredit Rp. 450.000,- dapat dihilangkan apabila seluruh hutang kartu kredit Anda sudah lunas.
Poin 2 bayar hutang koperasi Rp. 500.000,- juga dapat dihilangkan setelah seluruh hutang koperasi Anda lunas.
Poin 10 biaya terapi kesehatan dapat dikurangi apabila Anda merasa sudah tidak membutuhkan
Poin 11 keperluan makan sehari-hari sebesar Rp. 420.000,- dapat dihemat untuk mendapatkan dana cadangan.

Dari keempat poin yang dapat dikurangi, yang paling masuk akal adalah poin 1 dan 2. Sayangnya kami tidak mendapatkan data berapa nilai total hutang Anda sehingga kami tidak dapat memperhitungkan kira-kira kapan Anda dapat menghilangkan biaya untuk poin 1 dan poin 2. Anda dapat membaca konsultasi sebelum ini yang berjudul tips untuk terbebas dari hutang kartu kredit, tips ini dapat Anda terapkan untuk terbebas dari kedua hutang Anda.

Keluarga Anda kami kategorikan sebagai pasangan yang baru menikah karena Anda belum memiliki anak. Setelah Anda memiliki seorang anak, maka pengeluaran Anda akan bertambah karena Anda perlu membeli kebutuhan bayi. Untuk susunya saja Anda perlu mengeluarkan biaya sebesar Rp. 500.000,- per bulan. Tentunya ini akan sangat memberatkan untuk tingkat pendapatan Anda sekarang ini. Jadi untuk pertanyaan Anda yang berikutnya, apakah anda harus memiliki pekerjaan sampingan, jawabannya adalah benar. Anda perlu mencari cara untuk meningkatkan pendapatan keluarga Anda.

Mencari pekerjaan sampingan tidak harus sama dengan pekerjaan utama Anda. Apalagi bisa kantor Anda melarang Anda untuk menjual kaos lain. Anda dapat melakukan pekerjaan lain, seperti menjadi penulis, menjadi guru les, dan lain-lain. Atau mungkin istri Anda dapat membuka usaha laundri kecil-kecilan. Internet marketing juga menjadi alternatif.

Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat membaca ebook kami yang berjudul “Check-up Finansial” untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesehatan keuangan Anda secara lebih lengkap. Ada 8 rasio keuangan pribadi atau keluarga yang dapat memberikan Anda gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi keuangan Anda pada saat ini. Kami juga menyediakan worksheet Excel yang dapat langsung Anda gunakan untuk melakukan check-up finansial. Dan apabila Anda merasa membutuhkan seorang ahli untuk menganalisa kondisi keuangan Anda, kirimkan worksheet Anda yang sudah berisi data keuangan Anda ke email kami, kami akan menganalisa keuangan Anda secara private (Kami menjaga kerahasiaan data Anda). Untuk memesan paket ebook panduan mengelola keuangan pribadi, Anda dapat mengunjungi situs kami di:
http://www.keuanganpribadi.com
Baca Selengkapnya ......

Macam-Macam Takdir

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Macam-macam takdir itu antara lain:

1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
2. At-Taqdiirul Basyari (Takdir yang berlaku untuk manusia).
3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian).

1. At-Taqdiirul 'Aam (Takdir yang bersifat umum).
Ialah takdir Rabb untuk seluruh alam, dalam arti Dia mengetahuinya (dengan ilmu-Nya), mencatatnya, menghendaki, dan juga menciptakannya.

Jenis ini ditunjukkan oleh berbagai dalil, di antaranya firman Allah Ta'ala:

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah". [Al-Hajj: 70]

Dalam Shahiih Muslim dari 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhuma bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Allah menentukan berbagai ketentuan para makhluk, 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. "Beliau bersabda, "Dan adalah 'Arsy-Nya di atas air."[2]

2. At-Taqdiirul Basyari [3] (Takdir yang berlaku untuk manusia).
Ialah takdir yang di dalamnya Allah mengambil janji atas semua manusia bahwa Dia adalah Rabb mereka, dan menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka akan hal itu, serta Allah menentukan di dalamnya orang-orang yang berbahagia dan orang-orang yang celaka. Dia berfirman:

"Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Rabb-mu. Mereka menjawab, Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)." [Al-A'raaf:172]

Dari Hisyam bin Hakim, bahwa seseorang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu mengatakan, "Apakah amal-amal itu dimulai ataukah ditentukan oleh qadha'?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:

"Allah mengambil keturunan Nabi Adam Alaihissalam dari tulang sulbi mereka, kemudian menjadikan mereka sebagai saksi atas diri mereka, kemudian mengumpulkan mereka dalam kedua telapak tangan-Nya seraya berfirman, 'Mereka di Surga dan mereka di Neraka.' Maka ahli Surga dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Surga dan ahli Neraka dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli Neraka." [4]

3. At-Taqdiirul 'Umri (Takdir yang berlaku bagi usia).
Ialah segala takdir (ketentuan) yang terjadi pada hamba dalam kehidupannya hingga akhir ajalnya, dan juga ketetapan tentang kesengsaraan atau kebahagiaannya.

Hal tersebut ditunjukkan oleh hadits ash-Shadiqul Mashduq (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) dalam Shahiihain dari Ibnu Mas'ud secara marfu':

"Sesungguhnya salah seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama mpat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu pula (empat puluh hari), kemudian menjadi segumpal daging seperti itu pula, kemudian Dia mengutus seorang Malaikat untuk meniupkan ruh padanya, dan diperintahkan (untuk menulis) dengan empat kalimat: untuk menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagia(nya)."[5]

4. At-Taqdiirus Sanawi (Takdir yang berlaku tahunan).
Yaitu dalam malam Qadar (Lailatul Qadar) pada setiap tahun. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala:

"Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." [Ad-Dukhaan: 4]

Dan dalam firman-Nya:

"Pada malam itu turun para Malaikat dan juga Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." [Al-Qadr: 4-5]

Disebutkan, bahwa pada malam tersebut ditulis apa yang akan terjadi dalam setahun (ke depan,-ed.) mengenai kematian, kehidupan, kemuliaan dan kehinaan, juga rizki dan hujan, hingga (mengenai siapakah) orang-orang yang (akan) berhaji. Dikatakan (pada takdir itu), fulan akan berhaji dan fulan akan berhaji.

Penjelasan ini diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, demikian juga al-Hasan serta Sa'id bin Jubair. [6]

5. At-Taqdiirul Yaumi (Takdir yang berlaku harian)
Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

"Setiap waktu Dia dalam kesibukan." [Ar-Rahmaan: 29]

Disebutkan mengenai tafsir ayat tersebut: Kesibukan-Nya ialah memuliakan dan menghinakan, meninggikan dan merendahkan (derajat), memberi dan menghalangi, menjadikan kaya dan fakir, membuat tertawa dan menangis, mematikan dan menghidupkan, dan seterusnya. [7]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Lihat, A'laamus Sunnah al-Mansyuurah, hal. 129-133 dan komentar Syaikh Ibnu Baz atas al-Waasithiyyah, hal. 78-80.
[2]. HR. Muslim, (VIII/51).
[3]. Syaikh Abdul Aziz bin Baz memberikan komentar terhadap pembagian yang kedua ini seraya berucap, 'Bahwa takdir yang kedua ini masuk kedalam takdir yang pertama, oleh sebab itu Abul 'Abbas, Ibnu Taimiyyah, menolaknya dalam kitab al-Aqiidah al-Waasitiyyah, begitu juga banyak dari para ulama lainnya yang saya ketahui.
[4]. HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, yang diteliti oleh Syaikh al-Albani, (I/73), dan al-Albani menilai sanadnya shahih dan para perawinya semuanya terpercaya, dan as-Suyuthi dalam ad-Durul Mantsuur, (III/604), ia mengatakan, Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Jarir, al-Bazzar, ath-Thabrani, al-Ajurri dalam asy-Syarii'ah, Ibnu Mardawaih, dan al-Baihaqi dalam al-Asmaa' wash Shifaat.
[5]. HR. Al-Bukhari, (VII/210, no. 3208), Muslim, (VIII/44, no. 2643), dan Ibnu Majah, (I/29, no. 76). (Dan lafazhnya adalah dari riwayat Muslim,-ed.)
[6]. Lihat, Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, (VII/338), Tafsiir al-Qur-aanil 'Azhiim, Ibnu Katsir, (IV/140), dan Fat-hul Qadiir, asy-Syaukani, (IV/572).
[7]. Lihat, Zaadul Masiir, (VIII/114), Tafsiir al-Qur-aanil Azhiim, Ibnu Katsir, (IV/275), dan Fat-hul Qadiir, (V/136).
Baca Selengkapnya ......

Apa Kewajiban Hamba Berkenaan Dengan Masalah Takdir?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd


Kewajiban seorang hamba dalam masalah ini ialah mengimani qadha' Allah dan qadar-Nya, serta mengimani syari'at, perintah dan larangan-Nya. Ia berkewajiban untuk membenarkan khabar (berita) dan mentaati perintah. [1]

Jika ia berbuat kebajikan, hendaklah ia memuji Allah dan jika ia berbuat keburukan, hendaklah ia memohon ampun kepada-Nya. Ia pun mengetahui bahwa semua itu terjadi dengan qadha' Allah dan qadar-Nya. Sesungguhnya, ketika Nabi Adam Alaihissalam melakukan dosa, maka dia bertaubat, lalu Rabb-nya memilihnya dan memberi petunjuk kepadanya. Sedangkan iblis, ia tetap meneruskan dosa dan menghujat, maka Allah melaknat dan mengusirnya. Barang-siapa yang bertaubat, maka ia sesuai dengan sifat Nabi Adam Alaihissalam, dan barangsiapa yang meneruskan dosanya serta berdalihkan dengan takdir, maka ia sesuai dengan sifat iblis. Maka orang-orang yang berbahagia akan mengikuti bapak mereka, dan orang-orang yang celaka akan mengikuti musuh mereka, iblis. [2]

"Dengan pemahaman terhadap qadar Allah dan pelaksanaan terhadap syari'at-Nya secara benar, maka manusia akan menjadi seorang hamba -yang hakiki-, sehingga dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, ash-shiddiqin, asy-syuhada' dan ash-shalihin. Cukuplah dengan persahabatan ini suatu keberuntungan dan kebahagiaan." [3]

Kesimpulannya, ia wajib mengimani keempat tingkatan takdir yang telah disinggung sebelumnya. Yaitu, tidak ada sesuatu pun yang terjadi melainkan Allah telah mengetahui, mencatat, meng-hendaki, dan menciptakannya. Ia mengimani juga bahwa Allah memerintahkan agar mentaati-Nya dan melarang bermaksiat kepada-Nya, lalu ia melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Apabila Allah memberi taufik kepadanya untuk melakukan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka hendaklah ia memuji Allah dan meneruskan hal itu. Tetapi apabila dirinya dibiarkan dan dipasrahkan (oleh Allah) kepada dirinya sendiri, lalu ia melakukan kemaksiatan dan meninggalkan ketaatan, maka hendaklah ia beristighfar dan bertaubat.

Kemudian, hamba juga berkewajiban untuk bekerja demi kemaslahatan duniawinya, dan menempuh cara-cara yang benar yang dapat menghantarkan ke sana, lalu ia berjalan di muka bumi dan segala penjurunya. Jika berbagai perkara datang sesuai dengan apa yang dikehendakinya, hendaklah ia memuji Allah, dan jika datang tidak sesuai dengan yang diinginkannya, maka ia terhibur dengan qadar Allah. Ia tahu bahwa itu semua terjadi dengan qadar Allah Azza wa Jalla, dan bahwa apa yang menimpanya tidak pernah luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan pernah menimpanya.

"Jika hamba mengetahui secara global bahwa Allah dalam apa yang diciptakan dan diperintahkan-Nya memiliki hikmah yang besar, maka hal ini cukuplah baginya (menjadikannya tenang). Kemudian setiap kali bertambah ilmu dan keimanannya, maka semakin tampak pula baginya hikmah Allah dan rahmat-Nya yang mengagumkan akalnya, serta menjelaskan kepadanya kebenaran apa yang dikabarkan Allah dalam kitab-Nya." [4]

Bukan menjadi suatu keharusan bagi setiap orang untuk mengetahui detil pembicaraan tentang iman kepada qadar, tetapi keima-nan secara global ini sudah mencukupi. Ahlus Sunnah wal Jama'ah -sebagaimana yang dinyatakan oleh mereka- tidak mewajibkan atas orang yang lemah apa yang diwajibkan atas orang yang mampu.

Alhamdulillaah, selesailah pembahasan kita mengenai dalil-dalil syari'at, fitrah, akal, dan secara inderawi, yang tidak ada kontradiksi di dalamnya dan tidak ada kesamaran.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Lihat, Jaami'ur Rasaa-il, Ibnu Taimiyyah, (II/341) dan lihat, Dar' Ta'aarudhil 'Aql wan Naql, (VIII/405).
[2]. Lihat, al-Fataawaa, (VIII/64) dan Thariiqul Hijratain, hal. 170.
[3] At-Tuhfah al-Mahdiyyah fii Syarh ar-Risaalah at-Tadmuriyyah, Syaikh Falih bin Mahdi, (II/140) dan lihat, Taqriib at-Tadmuriyyah, Syaikh Ibnu 'Utsaimin, hal. 119.
[4]. Majmuu'ul Fatawaa, (VIII/97).
Baca Selengkapnya ......

Dalil-Dalil Iman Kepada Qadha Dan Qadar

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Dalil yang menunjukkan rukun yang agung dari rukun-rukun iman ini ialah al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’, fitrah, akal, dan panca indera.

Dalil-Dalil Dari Al-Qur-an
Dalil-dalil dari al-Qur-an sangat banyak, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla

"…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku." [Al-Ahzab:38]

Juga firman-Nya:

"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran." [Al-Qamar: 49]

Dan juga firman-Nya yang lain:

"Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah kha-zanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu." [Al-Hijr: 21]

Juga firman-Nya:

"Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan." [Al-Mursalaat: 22-23]

Juga firman-Nya yang lain:

"…Kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa." [Thaahaa: 40]

Dan juga firman-Nya:

"…Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya." [Al-Furqaan: 2]

Dan firman-Nya yang lain:

"Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk." [Al-A’laa: 3]

Firman-Nya yang lain:

“… (Allah mempertemukan kedua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan...” [Al-Anfaal: 42]

Serta firman-Nya yang lain :

“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali...” [Al-Israa’: 4]

Dalil-Dalil Dari As-Sunnah
Sementara dari sunnah ialah seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril Alaihissalam

“…Dan engkau beriman kepada qadar, yang baik maupun yang buruk… .” [1]

Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahiih dari Thawus, dia mengatakan, “Saya mengetahui sejumlah orang dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan, ‘Segala sesuatu dengan ketentuan takdir.’ Ia melanjutkan, “Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar mengatakan, ‘Segala sesuatu itu dengan ketentuan takdir hingga kelemahan dan kecerdasan, atau kecerdasan dan kelemahan.’”[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“…Jika sesuatu menimpamu, maka janganlah mengatakan, ‘Se-andainya aku melakukannya, niscaya akan demikian dan demikian.’ Tetapi ucapkanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan Allah, dan apa yang dikehendakinya pasti terjadi… .’” [3]

Demikianlah (dalil-dalil tersebut), dan akan kita temukan dalam kitab ini dalil-dalil yang banyak dari al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagai tambahan atas apa yang telah disebutkan.

Dalil-Dalil Dari Ijma’
Sedangkan menurut Ijma’, maka kaum muslimin telah bersepakat tentang kewajiban beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk, yang berasal dari Allah. An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Sudah jelas dalil-dalil yang qath’i dari al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’ Sahabat, dan Ahlul Hil wal ‘Aqd dari kalangan salaf dan khalaf tentang ketetapan qadar Allah Azza wa Jalla.” [4]

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sudah menjadi pendapat salaf seluruhnya bahwa seluruh perkara semuanya dengan takdir Allah Ta’ala.” [5]

Dalil-Dalil Dari Fitrah
Adapun berdasarkan fitrah, bahwa iman kepada qadar adalah sesuatu yang telah dimaklumi secara fitrah, baik dahulu maupun sekarang, dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali sejumlah kaum musyrikin. Kesalahannya tidak terletak dalam menafikan dan mengingkari qadar, tetapi terletak dalam memahaminya menurut cara yang benar. Karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman tentang kaum musyrikin:

"Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya... .’" [Al-An’aam: 148]

Mereka menetapkan kehendak (masyii-ah) bagi Allah, tetapi mereka berargumen dengannya atas perbuatan syirik. Kemudian Dia menjelaskan bahwa ini merupakan keadaan umat sebelum mereka, dengan firman-Nya:

"… Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul)… ." [Al-An’aam: 148]

Bangsa ‘Arab di masa Jahiliyyah mengenal takdir dan tidak mengingkarinya, serta di sana tidak ada orang yang berpendapat bahwa suatu perkara itu memang telah ada sebelumnya (terjadi dengan sendirinya, tanpa ada Yang menghendakinya).

Hal ini kita jumpai secara nyata dalam sya’ir-sya’ir mereka, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dan sebagaimana dalam ucapan ‘Antarah:
Wahai tetumbuhan, ke mana aku akan lari dari kematian
jika Rabb-ku di langit telah menentukannya [6]

Sebagaimana juga ucapan Tharfah bin al-‘Abd:
Seandainya Rabb-ku menghendaki, niscaya aku menjadi Qais bin Khalid
dan sekiranya Rabb-ku menghendaki, niscaya aku menjadi ‘Amr bin Martsad [7]

Suwaid bin Abu Kahil berkata:
Yang Maha Pemurah, dan segala puji untuk-Nya, telah menuliskan
keluasan akhlak pada kami begitu juga kebengkokannya [8]

Al-Mutsaqqib al-‘Abdi berkata:
Aku yakin, jika Rabb menghendaki,
bahwasanya kekuatan dan tujuan-Nya akan sampai kepadaku [9]

Zuhair berkata:
Jangan menyembunyikan kepada Allah apa yang ada dalam jiwa kalian
agar tersembunyi, dan meskipun disembunyikan Allah tetap mengetahuinya
Dia menunda lalu diletakkan dalam kitab untuk disimpan
bagi hari Penghisaban, atau disegerakan untuk diberi balasan [10]

Sebagaimana kita dapati juga dalam khutbah-khutbah mereka, seperti dalam pernyataan Hani’ bin Mas’ud asy-Syaibani dalam khutbahnya yang masyhur pada hari Dzi Qar, “Sesungguhnya sikap waspada (hati-hati) tidak dapat menyelamatkan dari takdir.” [11]

Tidak seorang pun dari mereka yang menafikan qadar secara mutlak, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah seorang pakar bahasa ‘Arab, Abul ‘Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab Rahimahullah, dengan ucapannya, “Saya tidak mengetahui ada orang ‘Arab yang mengingkari takdir.” Ditanyakan kepadanya, “Apakah di hati orang-orang ‘Arab terlintas pernyataan menafikan takdir?” Ia menjawab, “Berlindunglah kepada Allah, tidak ada pada bangsa ‘Arab kecuali menetapkan takdir, yang baik maupun yang buruk, baik semasa Jahiliyyah maupun semasa Islam. Pernyataan mereka sangat banyak dan jelas.” Kemudian dia mengucapkan sya’ir:

Takdir-takdir berlaku atas jarum yang menancap
dan tidaklah jarum berjalan melainkan dengan takdir
Lalu dia mengucapkan sya’ir milik Umru-ul Qais:
Kesengsaraan pada dua kesengsaraan telah tertuliskan [12]

Labid berkata:
Bertakwa kepada Rabb kami adalah sebaik-baik kewajiban
dan dengan seizin Allah hidup dan ajalku
Aku memuji Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya
di kedua tangan-Nya tergenggam kebajikan, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi
Siapa yang diberi petunjuk kepada jalan kebajikan, maka dia telah mendapat petunjuk dan hidupnya menyenangkan
dan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk disesatkan), maka Dia menyesatkannya [13]

Ka’b bin Sa’ad al-Ghanawi berkata:
Tidakkah engkau mengetahui bahwa dudukku tidak menjauhkan kematianku dariku
dan tidak pula kepergianku mendekatkanku kepada kematian
Bersama takdir yang pasti, hingga kematianku menimpaku
seandainya jiwa tidak terburu-buru [14]

Dalil-Dalil Dari Akal
Sedangkan dalil akal, maka akal yang sehat memastikan bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta ini, Yang Mengaturnya dan Yang Menguasainya. Tidak mungkin alam ini diadakan dengan sistim yang menakjubkan, saling menjalin, dan berkaitan erat antara sebab dan akibat sedemikian rupa ini adalah secara kebetulan. Sebab, wujud itu sebenarnya tidak memiliki sistem pada asal wujud-nya, lalu bagaimana menjadi tersistem pada saat adanya dan perkembangannya?

Jika ini terbukti secara akal bahwa Allah adalah Pencipta, maka sudah pasti sesuatu tidak terjadi dalam kekuasaan-Nya melainkan apa yang dikehendaki dan ditakdirkan-Nya.

Di antara yang menunjukkan pernyataan ini ialah firman Allah Azza wa Jalla:

"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." [Ath-Thalaaq: 12]

Kemudian perincian tentang qadar tidak diingkari akal, tetapi merupakan hal yang benar-benar disepakati, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Dalil-Dalil Dari Panca Indera
Adapun bukti secara inderawi, maka kita menyaksikan, mendengar, dan membaca bahwa manusia akan lurus berbagai urusan mereka dengan beriman kepada qadha' dan qadar -dan telah lewat penjelasan tentang hal ini pada pembahasan “Buah Keimanan kepada Qada' dan Qadar”-. Orang-orang yang benar-benar beriman kepadanya adalah manusia yang paling berbahagia, paling bersabar, paling berani, paling dermawan, paling sempurna, dan paling berakal.

Seandainya keimanan kepada takdir tersebut tidaklah nyata, niscaya mereka tidak mendapatkan semua itu.

Kemudian, qadar adalah “sistem tauhid,” [15] sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dan tauhid itu sendiri adalah sebagai sistem kehidupan. Maka kehidupan manusia tidak akan benar-benar istiqamah (lurus), kecuali dengan tauhid, dan tauhid tidak akan lurus kecuali dengan beriman kepada qadha' dan qadar.

Mudah-mudahan apa yang akan disebutkan di akhir kitab ini mengenai kisah-kisah manusia yang menyimpang dalam masalah takdir akan menjadi bukti atas hal itu.

Kemudian dalam perkara yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa perkara-perkara ghaib di masa mendatang yang telah terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits, adalah bukti yang jelas dan nyata bahwa iman kepada qadar adalah hak dan benar.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. HR. Muslim, kitab al-Iimaan, (I/38, no. 8).
[2]. Muslim, (no. 2655) diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam al-Musnad, yang
diteliti oleh Ahmad Syakir, (VIII/152, no. 5893), dan diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa', (II/879).
[3]. HR. Muslim, (no. 2664).
[4]. Syarh Shahiih Muslim, an-Nawawi, (I/155).
[5]. Fat-hul Baari, (XI/287) lihat, Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (III/534-538), di mana dia menukil ijma’ atas hal itu dari sejumlah besar kaum salaf, dan lihat, Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/449, 452, 459).
[6]. Diiwaan ‘Antarah, hal. 74.
[7]. Syarh al-Mu’allaqaatil ‘Asyr, az-Zauzani, hal. 119.
[8]. Al-Mufadh-dhaliyyaat, al-Mufadh-dhal adh-Dhabi, hal. 197.
[9]. Al-Mufadhdhaliyyaat, hal. 151.
[10]. Syarh Diiwaan Zuhair bin Abi Sulma, hal. 25.
[11]. Al-Amaali, Abu ‘Ali al-Qali, (I/171), Jamharatul Khuthabil ‘Arab, Ahmad Zaki Shafwat, (I/37), dan Taariikhul Adabil ‘Arabi, Ahmad Hasan az-Zayyat, hal. 33.
[12]. Lihat, Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (III/538) dan lihat, (IV/704-705) dari kitab yang sama.
[13]. Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (IV/705), dan lihat, Syi’r Labid Ibn Rabi’ah baina Jaahiliyyatih wa Islaamih, Zakaria Shiyam, hal. 95.
[14]. Al-‘Ashma’iyyaat, al-‘Ashma’i ‘Abdulmalik bin Quraib, hal. 74.
[15]. Majmuu’ul Fataawaa, (II/113)
Baca Selengkapnya ......

Keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah Secara Umum Tentang Qadar

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd




Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah ditanya tentang qadar, maka beliau menjawab dengan jawaban panjang lebar, yang berisi keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara umum mengenai masalah ini. Di antara pernyataannya:

“Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai masalah ini dan yang lainnya ialah (sesuai dengan) apa yang ditunjukkan oleh al-Qur-an dan as-Sunnah serta apa yang diikuti para as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Rabb, dan Yang menguasainya. Termasuk juga di dalamnya semua benda yang berdiri sendiri dan sifat-sifatnya yang menyatu dengannya, berupa perbuatan-perbuatan hamba dan selain perbuatan-perbuatan hamba.

Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi. Tidak ada sesuatu pun dalam wujud ini melainkan terjadi dengan masyii-ah (kehendak) dan ke-kuasaan-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kehendak-Nya dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, bahkan Dia mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang tidak akan terjadi, yang seandainya terjadi, bagaimana terjadinya.

Termasuk dalam kategori hal itu ialah perbuatan-perbuatan para hamba dan hal lainnya. Allah telah menetapkan ketentuan-ketentuan para makhluk sebelum menciptakan mereka, Dia telah menentukan ajal, rizki, dan perbuatan mereka, menuliskan hal itu, dan menuliskan perjalanan mereka berupa kebahagiaan dan kesengsaraan. Mereka mengimani penciptaan dan kekuasaan-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya terhadap segala yang telah terjadi, ilmu-Nya terhadap berbagai hal sebelum terjadi, takdir-Nya untuknya, dan pencatatan-Nya terhadap berbagai hal tersebut sebelum terjadinya.” [1]

Hingga beliau mengatakan, “Salaf umat dan para imamnya telah bersepakat juga bahwa para hamba itu diperintahkan kepada apa yang diperintahkan Allah kepada mereka dan dilarang terhadap apa yang mereka dilarang terhadapnya, bersepakat atas keimanan kepada janji dan ancaman-Nya yang terdapat dalam al-Qur-an dan as-Sunnah, dan bersepakat bahwa tidak ada hujjah bagi seorang pun terhadap Allah dalam kewajiban yang ditinggalkannya dan keharaman yang dilakukannya, bahkan Allah mempunyai hujjah yang sempurna atas para hamba-Nya.” [2]

Beliau mengatakan, “Di antara yang disepakati para Salaf umat ini dan para imamnya -di samping mereka beriman kepada qadha' dan qadar, bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, serta Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki dan menunjukkan siapa yang dikehendaki-Nya- adalah, bahwa para hamba memiliki kehendak dan kemampuan, mereka berbuat dengan kehendak dan kemampuan mereka yang telah Allah tentukan, disertai pernyataan mereka, ‘Para hamba tidak berkehendak kecuali bila Allah menghendaki,’ sebagaimana firman-Nya:

"Sekali-kali tidak demikian halnya. Sesungguhnya al-Qur-an itu adalah peringatan. Maka barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil pelajaran daripadanya (al-Qur-an). Dan mereka tidak akan mengambil pelajaran daripadanya kecuali (jika) Allah menghendakinya. Dia (Allah) adalah Rabb Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun." [Al-Muddatstsir: 54-56]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Majmuu’ul Fataawaa Syaikhul Islaam, (VIII/449-450).
[2]. Majmuu’ul Fataawaa Syaikhul Islaam, (VIII/452).
Baca Selengkapnya ......

Tingkatan-Tingkatan Qadar : Al-Ilmu, Al-Kitaabah

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Iman kepada qadar berdiri di atas empat rukun yang disebut tingkatan-tingkatan qadar atau rukun-rukunnya, dan merupakan pengantar untuk memahami masalah qadar. Iman kepada qadar tidak sempurna kecuali dengan merealisasikannya secara keseluruhan, sebab sebagiannya berkaitan dengan sebagian lainnya. Barangsiapa yang memantapkannya secara keseluruhan, maka keimanannya kepada qadar telah sempurna, dan barangsiapa yang mengurangi salah satu di antaranya atau lebih, maka keimanannya kepada qadar telah rusak. Rukun-rukun tersebut ialah:

1. Al-‘Ilm (ilmu).
2. Al-Kitaabah (pencatatan).
3. Al-Masyii-ah (kehendak).
4. Al-Khalq (penciptaan).

Sebagian penya’ir menyenandungkannya dengan ucapannya:
Ilmu, catatan Pelindung kita, Kehendak-Nya
dan penciptaan-Nya, yaitu mengadakan dan membentuk

Tingkatan Pertama: Al-‘Ilm (Ilmu).
Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui segala sesuatu, baik secara global maupun terperinci, azali (sejak dahulu) dan abadi, baik hal itu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan-Nya maupun perbuatan-perbuatan para hamba-Nya, sebab ilmu-Nya meliputi apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi yang seandainya terjadi, bagaimana terjadinya.

Dia mengetahui yang ada, yang tidak ada, yang mungkin, serta yang mustahil, dan tidak luput dari ilmu-Nya seberat dzarrah pun di langit dan di bumi.

Dia mengetahui semua ciptaan-Nya sebelum Dia menciptakan mereka. Dia mengetahui rizki, ajal, ucapan, perbuatan, maupun semua gerak dan diam mereka, juga siapakah ahli Surga ataupun ahli Neraka.

Tingkatan ini -yaitu ilmu yang terdahulu- disepakati oleh para Rasul, sejak Rasul yang pertama hingga yang terakhir, disepakati juga oleh semua Sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dari umat ini. Tetapi “Majusi” umat ini menyelisihi mereka, yaitu Qadariyyah yang amat fanatik.[2]

Dalil-dalil mengenai tingkatan ini banyak sekali, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla

"Dia-lah Allah Yang tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) selain Dia, Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata … ." [Al-Hasyr: 22]

Firman-Nya yang lain:

"…Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka… ." [Al-Baqarah: 255]

Juga firman Allah yang lain:

"…(Rabb-ku) Yang mengetahui yang ghaib. Tidak ada yang ter-sembunyi dari-Nya seberat dzarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." [Saba': 3]

Dan firman Allah:

"… Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan… ." [Al-An’aam: 124]

Juga firman-Nya:

"Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." [Al-Qalam : 7]

Serta firman-Nya:

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." [Al-An’aam: 59]

Dan firman Allah yang lain:

"Jika mereka berangkat bersamamu, niscaya mereka tidak menambah kepadamu selain dari kerusakan belaka… ." [At-Taubah: 47]

Juga firman-Nya:

"… Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta-pendusta belaka." [Al-An’am: 28]

Serta firman-Nya:

"Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu)." [Al-Anfaal: 23]

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahiihnya dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrikin, maka beliau menjawab:
Çó “Allah lebih mengetahui tentang apa yang mereka kerjakan.” [3]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada satu jiwa pun dari kalian melainkan telah diketahui tempat tinggalnya, baik di Surga maupun Neraka.” [4]

Tingkatan Kedua: Al-Kitaabah (Penulisan).
Yaitu, mengimani bahwa Allah telah mencatat apa yang telah diketahui-Nya dari ketentuan-ketentuan para makhluk hingga hari Kiamat dalam al-Lauhul Mahfuzh.

Para Sahabat, Tabi’in, dan seluruh Ahlus Sunnah wal Hadits sepakat bahwa segala yang terjadi hingga hari Kiamat telah dituliskan dalam Ummul Kitab, yang dinamakan juga al-Lauhul Mahfuzh, adz-Dzikr, al-Imaamul Mubiin, dan al-Kitaabul Mubiin, semuanya mempunyai makna yang sama.[5]

Dalil-dalil mengenai tingkatan ini banyak, baik dari al-Qur-an maupun as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." [Al-Hajj: 70]

Firman Allah yang lain:

"…Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)." [Yaasiin: 12]

Juga firman-Nya:

"Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami… .’" [At-Taubah: 51]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman tentang do’a Nabi Musa Alaihissalam:
"Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia … ." [Al-A’raaf: 156]

Dia berfirman tentang bantahan Nabi Musa Alaihissalam kepada Fir’aun:

"Berkata Fir'aun, ‘Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?’ Musa menjawab, ‘Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabb-ku, di dalam sebuah kitab, Rabb-ku tidak akan salah dan tidak (pula) lupa… .’" [Thaahaa: 51-52]

Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.
‘Allah mencatat seluruh takdir para makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.’ Beliau bersabda, ‘Dan adalah ‘Arsy-Nya berada di atas air.’” [6]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada satu jiwa pun yang bernafas melainkan Allah telah menentukan tempatnya, baik di Surga ataupun di Neraka, dan juga telah dituliskan celaka atau bahagia(nya).” [7]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1].Lihat, al-‘Aqiidah al-Waashithiyyah dengan penjelasannya, ar-Raudhah an-Naadiyyah, Syaikh Zaid bin Fayyadh, hal. 353, at-Tanbihaat al-Lathiifah ‘ala mahtawaat ‘alaihil ‘Aqiidah al-Waashithiyyah minal Mabaahits al-Muniifah, Syaikh Ibnu Sa’di disertai komentar Samahah Syaikh Ibnu Baz, hal. 75-80. Lihat pula, Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 61-116, Ma’aarijul Qabuul, Syaikh Hafizh al-Hakami, (II/225-238), A’laamus Sunnah al-Mansyuurah, al-Hakami, hal. 126-129, Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37, Taqriibut Tadmuriyyah, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 108-109, al-Qadhaa' wal Qadar, Dr. Sulaiman al-Asyqar, hal. 29-36, Syarh al-‘Aqiidah al-Waasithiyyah, Syaikh Shalih al-Fauzan, hal. 150-156, dan Khulaashah Mu’taqad Ahlis Sunnah, Syaikh ‘Abdillah bin Sulaiman al-Masy’ali, hal. 29-30.
[2]. Lihat, Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 61.
[3]. HR. Al-Bukhari ,(VII/210) dan lihat, al-Fat-h, (XI/493).
[4]. HR. Muslim dalam al-Qadr, (no. 2647).
[5]. Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 89
[6]. HR. Muslim, (VIII/51).
[7]. HR. Al-Bukhari dalam at-Tafsiir, (VI/84) dan Muslim dalam al-Qadar, (VIII/ 46-47).


ARSIP ARTIKEL
TAUHID
MUSLI
Baca Selengkapnya ......

Tingkatan-Tingkatan Qadar : Al-Masyii-ah, Al-Khalq

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Iman kepada qadar berdiri di atas empat rukun yang disebut tingkatan-tingkatan qadar atau rukun-rukunnya, dan merupakan pengantar untuk memahami masalah qadar. Iman kepada qadar tidak sempurna kecuali dengan merealisasikannya secara keseluruhan, sebab sebagiannya berkaitan dengan sebagian lainnya. Barangsiapa yang memantapkannya secara keseluruhan, maka keimanannya kepada qadar telah sempurna, dan barangsiapa yang mengurangi salah satu di antaranya atau lebih, maka keimanannya kepada qadar telah rusak. Rukun-rukun tersebut ialah:

1. Al-‘Ilm (ilmu).
2. Al-Kitaabah (pencatatan).
3. Al-Masyii-ah (kehendak).
4. Al-Khalq (penciptaan).

Sebagian penya’ir menyenandungkannya dengan ucapannya:
Ilmu, catatan Pelindung kita, Kehendak-Nya
dan penciptaan-Nya, yaitu mengadakan dan membentuk

Tingkatan Ketiga: Al-Masyii-ah (Kehendak).
Tingkatan ini mengharuskan keimanan kepada masyii-ah Allah yang terlaksana dan kekuasaan-Nya yang sempurna. Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, dan bahwa tidak ada gerak dan diam, hidayah dan kesesatan, melainkan dengan masyii-ah-Nya.

“Tingkatan ini ditunjukkan oleh Ijma’ (kesepakatan) para Rasul, sejak Rasul pertama hingga terakhir, semua kitab yang diturunkan dari sisi-Nya, fitrah yang padanya Allah menciptakan makhluk-Nya, serta dalil-dalil akal dan logika.” [1]

Nash-nash yang menunjukkan dasar ini sangat banyak sekali dari al-Qur-an dan as-Sunnah, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

"Dan Rabb-mu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya… ." [Al-Qashash: 68]

Firman Allah yang lain:

"Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam." [At-Takwiir: 29]

Dan firman Allah:

"Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu, ‘Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi,’ kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah… .’" [Al-Kahfi: 23-24]

Juga firman-Nya:

"Kalau sekiranya Kami turunkan Malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu kehadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki… ." [Al-An’aam: 111]

Serta firman-Nya:

"…Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya) niscaya disesatkan-Nya, dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk mendapat petunjuk), niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus." [Al-An’aam: 39]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya hati manusia semuanya berada di antara dua jari dari jari-jemari ar-Rahman seperti satu hati, Dia membolak-balikkannya ke mana saja Ia kehendaki.” [2]

Masyii-ah (kehendak) Allah yang terlaksana dan kekuasaan-Nya yang sempurna berhimpun dalam apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, serta berpisah dalam apa yang tidak akan terjadi dan sesuatu yang tidak ada. Apa yang dikehendaki Allah adanya, maka ia pasti ada dengan kekuasaan-Nya, dan apa yang tidak di-kehendaki adanya maka ia pasti tidak ada, karena Dia tidak meng-hendaki hal itu. Bukan karena ketidakadaan kekuasaan-Nya atas hal itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"…Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka saling mem-bunuh. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." [Al-Baqarah: 253]

Maka, tidak berperangnya mereka bukanlah menunjukkan bahwa kekuasaan Allah tidak ada (untuk mengadakan hal itu), akan tetapi karena Allah tidak menghendakinya, dan hal serupa bisa dilihat dalam firman Allah Ta’ala:

"…Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk … ." [Al-An’aam: 35]

Firman Allah yang lain:

"Dan kalau Allah menghendaki niscaya mereka tidak memper-sekutukan(-Nya)… ." [Al-An’aam: 107]

Juga firman-Nya:

"Dan jikalau Rabb-mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya… ." [Yunus: 99] [3]

Tingkatan Keempat: Al-Khalq (Penciptaan)
Tingkatan ini mengharuskan keimanan bahwa semua makhluk adalah ciptaan Allah, dengan dzat, sifat, dan gerakannya, dan bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk yang diadakan dari ketidakadaan, ada setelah sebelumnya tidak ada.

Tingkatan ini ditunjukkan oleh kitab-kitab samawi, disepakati para Rasul, disetujui fitrah yang lurus, serta akal yang sehat. [4] Dalil-dalil mengenai tingkatan ini nyaris tidak terbilang, di antaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Allah Yang menciptakan segala sesuatu… ." [Az-Zumar: 62]

Firman Allah yang lain:

"Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang … ." [Al-An’aam: 1]

Dan firman-Nya:

"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia mengujimu, siapa-kah di antaramu yang terbaik amalnya… ." [Al-Mulk: 2]

Serta firman Allah:

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari yang satu, dan daripadanya Allah mencip-takan isterinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak… ." [An-Nisaa': 1]

Juga firman Allah:

"Dan Dia-lah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya." [Al-Anbiyaa': 33]

Dan firman-Nya:

"…Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari langit dan dari bumi… ." [Faathir: 3]

Imam Al-Bukhari Rahimahullah meriwayatkan dalam kitab Khalq Af’aalil ‘Ibaad dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang ber-buat dan juga sekaligus perbuatannya.” [5]

Inilah empat tingkatan qadar, yang mana keimanan kepada qadar tidak sempurna kecuali dengannya.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Footenotes
[1]. Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 92.
[2]. HR. Muslim, (no. 2654).
[3]. Lihat, ash-Shafadiyyah, Ibnu Taimiyyah, (II/109).
[4]. Lihat, Syifaa-ul ‘Aliil, hal. 108.
[5]. Khalq Af’aalil ‘Ibaad, hal. 25.
Baca Selengkapnya ......

Tingkatan Qadha' Dan Qadar

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Menurut Ahlus Sunnah wal Jama'ah qadha' dan qadar mempunyai empat tingkatan:

Pertama
Al-'Ilm (pengetahuan), yaitu mengimani dan meyakini bahwa Allah Mahatahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terinci, baik itu termasuk perbuatanNya sendiri atau perbuatan makhlukNya. Tak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagiNya.

Kedua
Al-Kitabah (penulisan), yaitu mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam Lauh Mahfuzh yang ada disisiNya.

Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya:

"Artinya ; Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." [Al-Hajj : 70]

Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian tertulis dalam sebuah ktiab, yaitu Lauh Mahfuzh.

Sebagaimana pula dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam dalam sabdanya:

"Artinya : Pertama kali tatkala Allah menciptakan qalam (pena), Dia firmankan kepadanya, 'Tulislah!' Qalam itu berkata, 'Ya Tuhanku, apakah yang hendak kutulis?' Allah berfirman, "Tulislah apa saja yang akan terjadi!' Maka seketika itu bergeraklah qalam itu menulis segala yang akan terjadi hinggahari Kiamat."

Ketika Nabi shalallahu 'alaihi wassalam ditanya tentang apa yang hendak kita perbuat, apakah sudah ditetapkan atau tidak? Beliau menjawab: "Sudah ditetapkan."

Dan ketika beliau ditanya: "Mengapa kita mesti berusaha dan tidak pasrah saja dengan takdir yang sudah tertulis?", beliau pun menjawab: "Berusahalah kalian, masing-masing akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan baginya." Kemudian beliau mensitir firman Allah:

"Artinya ; Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang mudah. Sedangkan orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan adanya pahala yang terbaik, maka Kami akan memudahkan baginya (jalan) yang sukar." [Al-Lail 5-10]

Oleh karena itu, hendaklah Anda berusaha, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shalallahu 'alaihi wassalam kepada para sahabat. Anda akan dimudahkan menurut takdir yang telah ditentukan Allah.

Ketiga
Al-Masyi'ah (kehendak). Artinya, bahwa segala sesuatu yang terjadi, atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah. Hal ini dinyatakan jelas dalam Al-Qur'an Al-Karim. Dan Allah telah menetapkan bahwa apa yang diperbuatNya adalah dengan kehendakNya, serta apa yang diperbuat para hambaNya juga dengan kehendakNya.

Firman Allah:

"Artinya : (Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan Semesta Alam." [At-Takwir : 28-29]

"Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya." [Al-An'am : 112]

"Artinya : Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendakiNya." [Al-Baqarah : 253]

Dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa apa yang diperbuat manusia terjadi dengan kehendakNya.

Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendakNya. Seperti firman Allah:

"Artinya : Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya." [As-Sajdah : 13]

"Artinya : Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu." [Huud : 118]

Dan banyak lagi ayat-ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuatNya.

Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi kecuali dengan kehendakNya. Tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah.

Keempat
Al-Khalq (penciptaan). Yaitu, mengimani bahwa Allah Pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi Penciptanya tiada lain adalah Allah. Sampai yang dikatakan "mati" (tidak hidup), itupun diciptakan oleh Allah. Firman Allah:

"Artinya : Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya." [Al-Mulk : 2]

Jadi, segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi PenciptaNya tiada lain adalah Allah Tabaraka wa Ta'ala.

Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari perbuatan Allah adalah ciptaanNya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari bulan, bintang, angin, manusia, dan hewan, kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti: sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah.

Akan tetapi mungkin saja ada orang yang sulit memahami, bagaimana dapat dikatakan bahwa perbuatan dan perkataan yang kita lakukan dengan kehendak
kita ini adalah ciptaan Allah?

Jawabnya: Ya memang demikian. Sebab perbuatan dan perkataan kita ini timbul karena adanya 2 faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Apabila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah. Dan Siapa yang menciptakan sebab, Dialah yang menciptakan akibatnya.

Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia, yaitu bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena 2 faktor, yaitu kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat. Karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan ia perbuat. Begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi perbuatan itu. Jika perbuatan manusia itu terjadi karena adanya kehendak yang mantap dan kemampuan sempurna, sedangkan kehendak dan kemampuan tadi pada diri manusia adalah Allah, maka dengan cara ini dapat kita katakana bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia.

Akan tetapi, pada hakikatnya manusia yang berbuat. Manusialah yang bersuci, yang melakukan shalat, yang menunaikan zakat, yang berpuasa, yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, yang berbuat kemaksiatan, yang berbuatan ketaatan; hanya saja semua perbuatan ini ada dan terjadi dengan kehendak dan kemampuan yang diciptakan oleh Allah. Dan alhamdulillah hal ini sudah cukup jelas.

Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai yang berbuata atau pelaku perbuatan.

Seperti halnya kita katakan: "Api membakar." Padahal yang menjadikannya dapat membakar tentu saja Allah. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika Nabi Ibrahim 'alaihissalam dilemparkan ke dalam api akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami cedera sedikitpun, karena Allah telah berfirman kepada api itu:

"Artinya : Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim." [Al-Anbiya' : 69]

Sehingga Nabi Ibrahim 'alaihissalam tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat wal 'afiat.

Jadi, api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikannya mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama dengan kehendak dan kemampuan dalam diri manusia untuk berbuat, tidak ada perbedaannya. Hanya saja, karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum dan sebenarnya manusia dinyatakan sebagai yang berbuat. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri.

Penutup.
Sebagai penutup, kami katakan bahwa seorang mukmin harus ridha kepada Allah sebagai Tuhannya, dan termasuk kesempurnaan ridhanya, yaitu mengimani bahwa dalam masalah ini tidak ada perbedaan antara amal yang dikerjakan manusia, rizki yang dia usahakan, dan ajal yang dia khawatirkan. Kesemuanya adalah sama, sudah tertulis dan ditentukan. Dan setiap manusia dimudahkan menurut takdir yang ditentukan baginya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk mereka yang dimudahkan untuk berbuat seperti orang-orang mendapat kebahagiaan dan melimpahkan kepada kita kebaikan dunia dan akhirat.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan seluruh shahabatnya.

[Disalin dari kitab Al-Qadha wal Qadar, edisi Indonesia Qadha & Qadhar, Penyusun Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah A.Masykur Mz, Penerbit Darul Haq, Cetakan Rabi’ul Awwal 1420H/Juni 1999M]
Baca Selengkapnya ......

Hukum Membicarakan Permasalahan Qadar

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd



Sebelum membicarakan secara terperinci tentang qadha' dan qadar, ada baiknya membicarakan mengenai masalah yang tersiar di masa dahulu dan di masa sekarang, yang intinya adalah bahwa tidak boleh membicarakan tentang masalah-masalah takdir secara mutlak. Alasannya bahwa hal itu dapat membangkitkan keraguan dan kebimbangan, dan bahwa masalah ini telah menggelincirkan banyak telapak kaki dan menyesatkan banyak pemahaman.

Pernyataan demikian, secara mutlak adalah tidak benar, hal itu dikarenakan beberapa alasan, di antaranya yaitu:

1. Iman kepada qadar adalah salah satu rukun iman. Iman seorang hamba tidak sempurna kecuali dengannya. Bagaimana hal ini akan diketahui, jika tidak dibicarakan dan dijelaskan perkaranya kepada manusia?

2. Iman kepada qadar telah disebutkan dalam hadits teragung dalam Islam, yaitu hadits Malaikat Jibril Alaihissalam, dan hal itu terjadi di akhir kehidupan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ÝóÅöäøóåõ ÌöÈúÑöíúáõ¡ ÃóÊóÇßõãú íõÚóáøöãõßõãú Ïöíúäóßõãú.

“Dia adalah Malaikat Jibril, ia datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang agama kalian.”[1]

Maka mengetahui masalah takdir -dengan demikian- adalah termasuk bagian dari agama, dan pengetahuan tersebut adalah wajib, walaupun hanya secara global.

3. Al-Qur’an banyak menyebutkan tentang takdir dan perin-ciannya. Allah Azza wa Jalla pun telah memerintahkan kita agar merenungkan al-Qur’an dan memahaminya, sebagaimana firman-Nya:

"Artinya : Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya … ." [Shaad : 29]

Juga firman-Nya:

"Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci." [Muhammad: 24]

Lalu, apakah yang mengecualikan ayat-ayat yang membicarakan tentang masalah takdir dari keumuman ayat-ayat tersebut?!

4. Para Sahabat bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang paling detil mengenai takdir. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Jabir dalam Shahiih Muslim, ketika Suraqah bin Malik bin Ju’syum datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, jelaskanlah kepada kami tentang agama kami, seolah-olah kami baru diciptakan pada hari ini, yaitu mengenai amal perbuatan hari ini, apakah berdasarkan pada apa yang telah tertulis oleh tinta pena (takdir) yang sudah mengering dan takdir-takdir yang telah ditentukan, atau berdasarkan dengan apa yang akan kita hadapi?”

Beliau menjawab:

áÇó¡ Èóáú ÝöíúãóÇ ÌóÝøóÊú Èöåö ÇúáÃóÞúáÇóãõ¡ æóÌóÑóÊú Èöåö ÇáúãóÞóÇÏöíúÑõ.

“Tidak, bahkan berdasarkan pada tinta pena yang telah kering dan takdir-takdir yang telah ada.”

Ia bertanya, “Lalu, untuk apa kita beramal?”

Beliau menjawab:

ÇöÚúãóáõæúÇ! Ýóßõáøñ ãõíóÓøóÑñ.

“Beramallah! Sebab semuanya telah dimudahkan.”
Dalam sebuah riwayat disebutkan:

ßõáøõ ÚóÇãöáò ãõíóÓøóÑñ áöÚóãóáöåö.

“Setiap orang yang berbuat telah dimudahkan untuk perbuatan-nya.”[2]

5. Para Sahabat mengajarkan kepada para murid mereka dari kalangan Tabi’in hal tersebut. Yaitu, dengan bertanya kepada mereka, untuk menguji mereka, dan menguji pemahaman mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Shahiih Muslim bahwa Abul Aswad ad-Duali berkata, “‘Imran bin al-Hushain berkata kepadaku, ‘Apakah kamu melihat apa yang dilakukan manusia pada hari ini dan mereka bersungguh-sungguh di dalamnya, apakah hal itu merupakan sesuatu yang ditetapkan atas mereka dan telah berlaku atas mereka takdir sebelumnya? Ataukah sesuatu yang dihadapkan kepada mereka dari apa-apa yang dibawa kepada mereka oleh Nabi mereka dan hujjah telah nyata atas mereka?’

Saya menjawab, ‘Bahkan, hal itu merupakan sesuatu yang telah ditentukan atas mereka.’
Dia bertanya, ‘Bukankah itu suatu kezhaliman?’
Saya sangat terperanjat mendengar hal itu. Saya katakan, ‘Segala sesuatu adalah ciptaan Allah dan kepunyaan-Nya, dan Allah tidak ditanya tentang apa yang dilakukan-Nya, tapi merekalah yang akan ditanya.’

Maka dia mengatakan kepadaku, ‘Semoga Allah merahmatimu. Sesungguhnya aku tidak menginginkan dengan apa yang aku tanya-kan kepadamu, melainkan untuk menguji akalmu.’”[3]

6. Para imam Salafush Shalih dari kalangan ulama telah mengarang kitab tentang masalah ini, bahkan sangat perhatian mengenainya. Seandainya kita menyatakan larangan membicarakan tentang takdir, berarti kita telah menganggap mereka sesat dan menilai dungu akal mereka.

7. Seandainya kita tidak membicarakan tentang takdir, niscaya manusia tidak mengerti mengenainya. Dan mungkin pintu menjadi terbuka bagi ahli bid’ah dan ahli kesesatan untuk menyebarkan kebathilan mereka dan mencampuradukkan agama kaum muslimin.

8. Hilangnya ilmu dan kebajikan. Seandainya kita tidak membicarakan tentang takdir dan berbagai manfaatnya, niscaya kita kehilangan ilmu yang melimpah dan kebajikan yang banyak.

Jika ditanyakan: Bagaimana kita mengkompromikan antara hal ini dengan apa yang disebutkan tentang celaan membicarakan mengenai takdir, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang disebut-kan dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘anhu,

ÅöÐóÇ ÐõßöÑó ÃóÕúÍóÇÈöíú ÝóÃóãúÓößõæúÇ¡ æóÅöÐóÇ ÐõßöÑó ÇáäøõÌõæúãõ ÝóÃóãúÓößõæúÇ¡ æóÅöÐóÇ ÐõßöÑó ÇáúÞóÏóÑõ ÝóÃóãúÓößõæúÇ!

“Jika para Sahabatku dibicarakan, maka diamlah, jika bintang-bintang dibicarakan, maka diamlah, dan jika takdir dibicarakan, maka diamlah.”[4]

Demikian pula riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat marah sekali, ketika beliau keluar menemui para Sahabatnya pada suatu hari saat mereka sedang berdebat tentang masalah takdir, sehingga wajah beliau memerah, seolah-olah biji delima terbelah di keningnya, lalu beliau bersabda,

ÃóÈöåóÐóÇ ÃõãöÑúÊõãú¿ Ãóãú ÈöåóÐóÇ ÃõÑúÓöáúÊõ Åöáóíúßõãú¿ ÅöäøóãóÇ Ãóåúáóßó ãóäú ßóÇäó ÞóÈúáóßõãú Íöíúäó ÊóäóÇÒóÚõæúÇ Ýöíú åóÐóÇ ÇúáÃóãúÑö¡ ÚóÒóãúÊõ Úóáóíúßõãú ÃóáÇøó ÊóäóÇÒóÚõæúÇ Ýöíúåö.

“Apakah dengan ini kalian diperintahkan? Apakah dengan ini aku diutus kepada kalian? Sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah binasa ketika mereka berselisih mengenai perkara ini. Oleh karena itu, aku meminta kalian, janganlah berselisih mengenainya.”[5]

Jawaban mengenai hal itu: Bahwa larangan yang disebutkan tersebut adalah karena mengandung perkara-perkara berikut ini:

1. Membicarakan takdir dengan kebathilan serta dengan tanpa ilmu dan dalil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

"Artinya : Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya... ." [Al-Israa': 36]

Dia pun berfirman tentang orang-orang yang berdosa:

"Artinya : Apakah yang memasukkanmu ke dalam Saqar (Neraka)? Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang menger-jakan shalat, tidak (pula) kami memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.’" [Al-Muddatstsir: 42-45]

2. Bersandar hanya kepada akal manusia yang terbatas dalam mengetahui takdir, jauh dari petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab, akal manusia tidak mampu mengetahui hal itu secara terperinci, karena akal mempunyai keterbatasan dan juga kemampuan yang terbatas, maka wajib bagi akal untuk berhenti pada dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih.[6]

3. Tidak pasrah dan tunduk kepada Allah dalam takdir-Nya. Hal itu karena takdir adalah perkara ghaib, yang mana perkara ghaib itu landasannya adalah kepasrahan.

4. Membahas tentang aspek yang tersembunyi mengenai takdir, yang mana ia merupakan rahasia Allah dalam ciptaan-Nya, dan (takdir tersebut) tidak diketahui oleh Malaikat yang didekatkan kepada Allah dan tidak pula oleh Nabi yang diutus, dan hal itu pun termasuk di antara perkara di mana akal tidak mampu untuk memahami dan mengetahuinya.[7]

5. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan yang tidak sepatutnya ditanyakan, seperti orang yang bertanya dengan nada protes: Mengapa Allah memberi petunjuk kepada si fulan dan menyesatkan si fulan? Mengapa Allah membebani (dengan kewajiban) kepada manusia di antara seluruh makhluk? Mengapa Allah memberi kekayaan kepada si fulan dan memberi kemiskinan kepada si fulan? Dan seterusnya…

Adapun orang yang bertanya untuk mendapatkan pemahaman, maka tidaklah mengapa, sebab obat kebodohan adalah bertanya. Adapun orang yang bertanya dengan nada protes -bukan untuk memahami dan tidak pula untuk belajar- maka itulah yang tidak boleh, baik pertanyaannya sedikit maupun banyak.[8]

6. Berbantah-bantahan mengenai takdir, yang menyebabkan perselisihan manusia di dalamnya dan terpecahnya mereka dalam masalah itu. Semua ini termasuk perkara yang kita dilarang melakukannya.

Tidak termasuk dalam kategori perbantahan yang tercela: membantah aliran yang sesat, menolak berbagai syubhat mereka, dan meruntuhkan berbagai argumentasi mereka, karena usaha tersebut berarti memenangkan kebenaran dan mengalahkan kebathilan.

Dari sini nampak jelas bagi kita, bahwa larangan membicarakan tentang takdir secara mutlak adalah tidak benar, tetapi larangan tersebut berlaku untuk perkara-perkara yang telah disebutkan tadi.

Adapun pembahasan dalam perkara yang akal manusia mampu memahaminya, yang berlandaskan pada nash-nash, seperti membahas tentang tingkatan-tingkatan takdir, macam-macam takdir, kemakhlukan perbuatan hamba, dan pembahasan-pembahasan tentang takdir lainnya, maka semua ini telah dimudahkan lagi jelas, juga tidak dilarang untuk membahasnya. Kendatipun tidak semua orang mampu memahaminya secara terperinci, tetapi dalam permasalahan ini ada ulama yang mempelajarinya dan menjelaskan apa yang terdapat di dalamnya.

Di antara yang menegaskan hal itu -bahwa larangan tersebut bukanlah secara mutlak- yaitu telah disebutkan dalam hadits terdahulu, -yakni dalam hadits Ibnu Mas’ud,- di samping perintah untuk tidak membicarakan masalah takdir, ialah perintah untuk tidak membicarakan para Sahabat.

Maksud dari tidak membicarakan para Sahabat adalah, tidak membicarakan tentang apa yang diperselisihkan di antara mereka dan tidak membicarakan keburukan-keburukan mereka juga kekurangan-kekurangan mereka.

Adapun menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dan memuji mereka, maka ini adalah perkara yang terpuji tanpa diperselisihkan oleh para ulama. Sebab, Allah telah memuji mereka dalam al-Qur’an, demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara yang menegaskan hal itu, bahwa sebab kemarahan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits terdahulu, -yaitu hadits at-Tir’midzi- hanyalah karena sebab berbantah-bantahannya para Sahabat dalam masalah takdir.

“Maka, membicarakan tentang takdir atau membahasnya dengan metode ilmiah yang shahih, tidaklah diharamkan atau dilarang. Te-tapi yang dilarang oleh Rasulullah n hanyalah berbantah-bantahan mengenai takdir.”[9]

Ringkasnya, dalam masalah ini, bahwa pembicaraan mengenai takdir tidak dibuka secara mutlak dan tidak pula ditutup secara mutlak. Jika pembicaraan tersebut dengan haq, maka tidak terlarang, bahkan mungkin wajib, adapun jika dengan kebathilan, maka dilarang.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. HR. Muslim, kitab al-Iimaan, (I/38 (8)).
[2]. HR. Muslim, bab al-Qadar, (VIII/48, no. 2648).
[3]. HR. Muslim, bab al-Qadar, (VIII/48-49, no. 2650).
[4]. HR. Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, (X/243, no.10448), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, (IV/108). Abu Nu’aim berkata, “Ghariib dari hadits al-A’amasy, karena Musahhar meriwayatkan sendirian.” Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id, (VII/202), “Di dalamnya terdapat Musahhar bin ‘Abdul-malik, dan dia dianggap tsiqah oleh Ibnu Hibban dan selainnya. Mengenai dirinya diperselisihkan, dan para perawinya yang lain adalah para perawi kitab Shahiih.” Al-‘Iraqi berkata dalam al-Mughni ‘an Hamlil Asfaar, (I/41), “Sanadnya hasan.” Hadits ini dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam al-Fat-h, (XI/486). As-Suyuthi mengisyaratkan kehasanannya dalam al-Jaami’ush Shaghiir Faidhul Qadiir, (I/348), dan al-Albani menilainya sebagai hadits shahih dalam Shahiihul Jaami’, (no. 545). Lihat pula, Silsilah ash-Shahiihah, (I/42, no. 34). Al-Mubarakfuri berkata dalam Tuhfatul Ahwadzi, (VI/336), “Sanadnya hasan.” Hadits ini datang dari hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu dengan lafazhnya, dalam riwayat ath-Thabrani dalam al-Kabiir, (II/96, no. 1427). Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id, (VII/202), “Di dalamnya terdapat Yazid bin Rabi’ah, dan dia adalah dha’if.”
[5]. HR. At-Tirmidzi dari hadits Abu Hurairah, kitab al-Qadar bab Maa Jaa-a fit Tasydiid fil Khaudh fil Qadar, (IV/443, no. 2133), dan dia mengatakan, “Dalam bab ini dari ‘Umar, ‘Aisyah dan Anas. Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini dari hadits Shalih al-Mirri. Sedangkan Shalih al-Mirri mempunyai banyak hadits gharib yang diriwayatkannya sen-dirian yang tidak diikuti dengan riwayat-riwayat pendukung.” Al-Albani menilai hasan dalam Shahiih Sunan at-Tirmidzi, (II/223, no. 1732 dan 2231). Hadits ini mempunyai pendukung dari hadits ‘Umar bin al-Khaththab z dengan redaksi:
áÇó ÊõÌóÇáöÓõæúÇ Ãóåúáó ÇáúÞóÏóÑö æóáÇó ÊõÝóÇÊöÍõæúåõãú.
“Janganlah bergaul dengan orang-orang yang suka membicarakan takdir dan jangan membuka pembicaraan dengan mereka.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, (I/30), Abu Dawud, (V/84, no. 4710 dan 4720), dan al-Hakim, (I/85).
[6]. Lihat, al-Ibaanah, Ibnu Baththah al-‘Ukbari, (I/421-422).
[7]. Lihat, ad-Diinul Khaalish, Shiddiq Hasan, (III/171).
[8]. Syarh al-Aqiidah ath-Thahaawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 262, al-Ikhtilaaf fil Lafzh war Radd ‘alal Jahmiyyah wal Musyabbihah, Ibnu Qutaibah, hal. 35, dan Syarhus Sunnah, al-Barbahari, hal. 36.
[9]. Al-Qadhaa' wal Qadar fil Islaam, Dr. Faruq ad-Dasuqi, (I/368).
Baca Selengkapnya ......

Definisi Qadha' Dan Qadar Serta Kaitan Di Antara Keduanya

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

PERTAMA : QADAR
Qadar, menurut bahasa yaitu: Masdar (asal kata) dari qadara-yaqdaru-qadaran, dan adakalanya huruf daal-nya disukunkan (qa-dran). [1]

Ibnu Faris berkata, “Qadara: qaaf, daal dan raa’ adalah ash-sha-hiih yang menunjukkan akhir/puncak segala sesuatu. Maka qadar adalah: akhir/puncak segala sesuatu. Dinyatakan: Qadruhu kadza, yaitu akhirnya. Demikian pula al-qadar, dan qadartusy syai' aqdi-ruhu, dan aqduruhu dari at-taqdiir.” [2]

Qadar (yang diberi harakat pada huruf daal-nya) ialah: Qadha' (kepastian) dan hukum, yaitu apa-apa yang telah ditentukan Allah Azza wa Jalla dari qadha' (kepastian) dan hukum-hukum dalam berbagai perkara
.
Takdir adalah: Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu. Qadar itu sama dengan Qadr, semuanya bentuk jama’nya ialah Aqdaar. [3]

Qadar, menurut istilah ialah: Ketentuan Allah yang berlaku bagi semua makhluk, sesuai dengan ilmu Allah yang telah terdahulu dan dikehendaki oleh hikmah-Nya. [4]

Atau: Sesuatu yang telah diketahui sebelumnya dan telah tertuliskan, dari apa-apa yang terjadi hingga akhir masa. Dan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menentukan ketentuan para makhluk dan hal-hal yang akan terjadi, sebelum diciptakan sejak zaman azali. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengetahui, bahwa semua itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan pengetahuan-Nya dan dengan sifat-sifat ter-tentu pula, maka hal itu pun terjadi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya. [5]

Atau: Ilmu Allah, catatan (takdir)-Nya terhadap segala sesuatu, kehendak-Nya dan penciptaan-Nya terhadap segala sesuatu tersebut.

KEDUA : QADHA'
Qadha', menurut bahasa ialah: Hukum, ciptaan, kepastian dan penjelasan.
Asal (makna)nya adalah: Memutuskan, memisahkan, menen-tukan sesuatu, mengukuhkannya, menjalankannya dan menyele-saikannya. Maknanya adalah mencipta. [6]

Kaitan Antara Qadha' dan Qadar
1. Dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan qadar ialah takdir, dan yang dimaksud dengan qadha’ ialah penciptaan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Maka Dia menjadikannya tujuh langit… ." [Fushshilat: 12]

Yakni, menciptakan semua itu.

Qadha' dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang lainnya berkedudukan sebagai bangunannya, yaitu qadha'. Barangsiapa bermaksud untuk memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan bangunan tersebut. [7]

2. Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha' ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. [8]

Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha' adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut.’” [9]

3. Dikatakan, jika keduanya berhimpun, maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah, maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka yang lainnya masuk di dalam (pengertian)nya.


[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits, Ibnu Atsir, (IV/22).
[2]. Mu’jam Maqaayiisil Lughah, (V/62) dan lihat an-Nihaayah, (IV/23).
[3]. Lihat, Lisaanul ‘Arab, (V/72) dan al-Qaamuus al-Muhiith, hal. 591, bab qaaf - daal - raa'.
[4]. Rasaa-il fil ‘Aqiidah, Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin, hal. 37.
[5]. Lawaami’ul Anwaar al-Bahiyyah, as-Safarani, (I/348).
[6]. Lihat, Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, hal. 441-442. Lihat pula, Lisaanul ‘Arab, (XV/186), al-Qaamuus, hal. 1708 bab qadhaa', dan lihat, Maqaa-yiisil Lughah, (V/99).
[7]. Lisaanul ‘Arab, (XV/186) dan an-Nihaayah, (IV/78).
[8]. Al-Qadhaa' wal Qadar, Syaikh Dr. ‘Umar al-Asyqar, hal. 27.
[9]. Fat-hul Baari, (XI/486).
[10]. Lihat, ad-Durarus Sunniyyah, (I/512-513).
Baca Selengkapnya ......

Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar : Terbebas Dari Syirik, Ikhlas, Tawakkal, Takut Kepada Allah

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

Iman kepada qadha' dan qadar menghasilkan buah yang besar, akhlak yang indah, dan ibadah yang beraneka ragam, yang pengaruhnya kembali kepada individu dan komunitas masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat. Di antara buah-buah tersebut ialah sebagai berikut:

1. Menunaikan Peribadatan Kepada Allah Azza wa Jalla.
Iman kepada qadar merupakan salah satu peribadatan kita kepada Allah, sedangkan kesempurnaan makhluk itu adalah terletak pada realisasi peribadatannya kepada Rabb-nya. Setiap kali bertambah realisasi peribadatannya, maka bertambah pula kesempurnaannya dan derajatnya menjadi tinggi, sehingga segala sesuatu yang menimpanya dari perkara yang tidak disukainya pun menjadi kebaikan baginya. Dan dari keimanan tersebut, menghasilkan baginya berbagai peribadatan yang sangat banyak, yang sebagian di antaranya akan disebutkan.

2. Terbebas Dari Syirik.
Kaum Majusi menyangka, bahwa cahaya adalah pencipta kebajikan sedangkan kegelapan adalah pencipta keburukan. Dan Qadariyyah pun mengatakan, “Allah tidak menciptakan perbuatan para hamba, tetapi para hamba itulah yang menciptakan berbagai perbuatan mereka.” Maka mereka ini telah menetapkan pencipta-pencipta (yang lain) bersama Allah Azza wa Jalla

Kesesatan ini adalah syirik. Padahal iman kepada qadar dengan cara yang benar adalah dengan mentauhidkan Allah Azza wa Jalla

Kemudian orang yang beriman kepada qadar mengetahui, bahwa semua makhluk berada dalam kekuasaan Allah, diatur dengan qadar (ketentuan)-Nya. Semuanya tidak memiliki suatu kekuasaan pun, mereka tidak memiliki kekuasaan untuk dirinya, terlebih terhadap selainnya, baik kemanfaatan maupun kemudharatan. Demikian pula dia pun mengetahui secara yakin, bahwa segala urusan itu adalah berada di tangan Allah, Dia memberi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mencegah dari siapa yang dikehendaki-Nya, tidak ada yang dapat menolak ketentuan dan ketetapan-Nya. Hal ini akan mendorongnya untuk mengesakan Allah dalam beribadah, semata-mata hanya untuk-Nya, tidak kepada selain-Nya. Maka ia tidak mendekatkan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mengusap debu-debu kuburan, serta makam orang-orang shalih.

3. Memperoleh Hidayah Dan Tambahan Keimanan.
Orang yang beriman kepada qadar, dengan cara yang benar, berarti telah merealisasikan tauhid kepada-Nya, menambah keimanannya, dan berjalan di atas petunjuk dari Rabb-nya. Sebab, beriman kepada qadar termasuk mendapatkan petunjuk.

Allah Azza wa Jalla berfirman.

"Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya." [Muhammad: 17]

Dia juga berfirman.

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya … ." [At-Taghaabun: 11]

‘Alqamah rahimahullahu berkata tentang ayat ini, “Yaitu, mengenai orang yang tertimpa musibah, lalu dia tahu bahwa hal itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia pun pasrah dan ridha.” [2]

4. Ikhlas.
Iman kepada qadar akan membawa pelakunya kepada keikhlasan, sehingga motifasinya dalam segala perbuatannya ialah melaksanakan perintah Allah. Orang yang beriman kepada qadar mengetahui, bahwa perintah adalah perintah Allah dan kekuasaan adalah kekuasaan-Nya, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi, serta tidak ada yang dapat menolak karunia dan ketetapan-Nya. Semua itu mendorongnya kepada keikhlasan beramal karena Allah dan membersihkannya dari kotoran yang menodainya. Karena yang membawa ketidak-ikhlasan atau kekurangikhlasan adalah pamrih kepada manusia (riya’), mencari pujian atau sanjungan di hati mereka, atau lari dari celaan mereka, mencari harta mereka atau bantuan dan cinta mereka, atau selainnya dari noda-noda dan penyakit-penyakit yang dihimpun dalam menginginkan sesuatu selain Allah dalam beramal. [3]

Jika seorang hamba percaya, bahwa perkara-perkara ini tidak dapat diraih kecuali dengan takdir Allah Azza wa Jalla, dan bahwa manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit pun, baik pada diri mereka maupun pada selain mereka, maka dia tidak akan peduli dengan manusia dan tidak mencari keridhaan mereka dengan menukarnya dengan mendapatkan murka Allah. Sehingga hal itu akan mendorong untuk lebih mendahulukan Dzat Yang Mahabenar daripada makhluk, kepada keikhlasan dan memurnikan ibadah, serta jauh dari segala riya’ dan kemusyrikan.

Dari sinilah akan diraih keutamaan ikhlas, yang merupakan keutamaan yang paling mulia. Karena ikhlas dapat meninggikan kedudukan amal, sehingga menjadi tangga-tangga untuk mencapai keberuntungan. Inilah yang membawa manusia untuk melanjutkan amal kebajikan, menjadikan tekad seseorang menjadi kuat, dan mengikat hatinya. Sehingga ia pun melangkah hingga mencapai tujuannya.

5. Tawakkal.
Tawakkal kepada Allah adalah inti ibadah, sedangkan tawakkal tidaklah sah dan lurus kecuali bagi siapa yang beriman kepada qadar sesuai dengan cara yang benar.

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Syaikh kami [4] -semoga Allah meridhainya- mengatakan, ‘Karena itu, tawakkal tidak sah dan tidak terbayangkan berasal dari para filosof, tidak juga dari Qadariyyah yang membantah dan mengatakan bahwa dalam kekuasaan-Nya ada sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, tidak juga dari Jahmiyyah yang menafikan sifat-sifat Rabb Jalla jalaa Luhu, dan tidak pula tawakkal akan lurus kecuali dari kaum yang menetapkan sifat-sifat Allah (Ahlus Sunnah wal Jama’ah).” [4]

Yang dimaksud dengan tawakkal, menurut syari’at adalah, mengarahkan hati kepada Allah pada saat beramal, meminta pertolongan, dan bersandar kepada-Nya semata. Itulah rahasia dan hakikat tawakkal.

Syari’at memerintahkan kepada orang yang beramal agar hatinya berhimpun di atas pelita tawakkal dan penyerahan diri.

Hal yang dapat merealisasikan tawakkal ialah, melakukan usaha-usaha yang diperintahkan. Barangsiapa yang menafikannya, maka tidak sah tawakkalnya.

Jika hamba bertawakkal kepada Rabb-nya, berserah diri kepada-Nya, dan menyerahkan urusannya kepada-Nya, maka Allah akan memberikan kepadanya kekuatan, tekad, kesabaran, dan menjauh-kannya dari berbagai bencana yang merupakan halangan ikhtiar hamba bagi dirinya, serta memperlihatkan kepadanya kebaikan berbagai akibat ikhtiarnya untuknya, yang tidak mungkin dia sampai kepadanya walaupun kepada sebagiannya, apabila (hanya bersan-darkan) kepada ikhtiarnya semata.

Ini semua akan menenangkannya dari pemikiran-pemikiran yang melelahkan dalam berbagai jenis ikhtiar, dan mengosongkan hatinya dari pertimbangan-pertimbangan yang sewaktu-waktu dia tempuh dan sewaktu-waktu ia tinggalkan.

6. Takut Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan Anda jumpai senantiasa takut kepada Allah dan suul khaatimah (akhir kematian yang buruk), sebab dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya dan tidak juga merasa aman dari makar Allah.

Dari sini, dia akan merasa amalnya sedikit dan tidak terpedaya dengan amalnya, apa pun yang telah dilakukannya. Karena hati manusia itu berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman, Dia membolak-balikkannya bagaimana saja Ia kehendaki, dan pengetahuan tentang akhir dari amalnya adalah berada di sisi Allah Azza wa Jalla.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

ÝóæóÇááåö¡ Åöäøó ÃóÍóÏóßõãú Ãóæö ÇáÑøóÌõáó íóÚúãóáõ ÈöÚóãóáö Ãóåúáö ÇáäøóÇÑö¡ ÍóÊøóì ãóÇ íóßõæúäõ Èóíúäóåõ æóÈóíúäóåóÇ ÛóíúÑõ ÈóÇÚò Ãóæú ÐöÑóÇÚò¡ ÝóíóÓúÈöÞõ ÚóáóÜíúåö ÇáúßöÊóÇÈõ¡ ÝóíóÚúãóáõ ÈöÚóãóáö Ãóåúáö ÇáúÌóäøóÉö ÝóíóÏúÎõáõåóÇ. æóÅöäøó ÇáÑøóÌõáó¡ áóíóÚúãóáõ ÈöÚóãóáö Ãóåúáö ÇáúÌóäøóÉö¡ ÍóÊøóì ãóÇ íóßõæúäõ Èóíúäóåõ æóÈóíúäóåóÇ ÛóíúÑõ ÐöÑóÇÚò Ãóæú ÐöÑóÇÚóíúäö¡ ÝóíóÓúÈöÞõ Úóáóíúåö ÇáúßöÊóÇÈõ¡ ÝóíóÚúãóáõ ÈöÚóãóáö Ãóåúáö ÇáäøóÇÑö ÝóíóÏúÎõáõåóÇ.

“Demi Allah, sesungguhnya seorang dari kalian atau seseorang beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan Neraka hanya sedepa atau sehasta lagi, tetapi telah berlaku ketetapan sebelumnya atasnya, lalu dia beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga dia pun masuk ke dalam Surga. Dan seseorang benar-benar beramal dengan amalan ahli Surga, sehingga jarak antara dirinya dengan Surga hanya sehasta atau dua hasta lagi, tetapi telah berlaku ketetapan atasnya, lalu dia beramal dengan amalan ahli Neraka, sehingga dia pun masuk Neraka.” [6]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda

Åöäøó ÇáúÚóÈúÏó áóíóÚúãóáõ Úóãóáó Ãóåúáö ÇáäøóÇÑö æóÅöäøóåõ ãöäú Ãóåúáö ÇáúÌóäøóÉö¡ æóíóÚúãóáõ Úóãóáó Ãóåúáö ÇáúÌóäøóÉö æóÅöäøóåõ ãöäú Ãóåúáö ÇáäøóÇÑö¡ æóÅöäøóãóÇ ÇúáÃóÚúãóÇáõ ÈöÇáúÎóæóÇÊöíúãö.

“Seorang hamba benar-benar beramal dengan amalan ahli Neraka padahal sesungguhnya dia termasuk ahli Surga, dan seseorang benar-benar beramal dengan amalan ahli Surga padahal sesungguhnya dia termasuk ahli Neraka, sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada akhir penutupnya.” [7]

7. Kuat Harapan Dan Berprasangka Baik Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan berprasangka baik kepada Allah dan sangat berharap kepada-Nya, karena dia mengetahui bahwa Allah tidak menetapkan suatu ketentuan pun melainkan di dalamnya berisikan kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan.

Ia tidak menghujat Rabb-nya mengenai berbagai qadha' dan qadar yang ditentukan atasnya, dan hal itu mengharuskannya untuk konsisten di sisi-Nya dan ridha kepada apa yang dipilihkan Rabb-nya untuknya, sebagaimana mengharuskan untuknya menunggu kelapangan. Hal itu dapat meringankan beban yang berat, terutama bila disertai harapan yang kuat atau yakin dengan adanya kelapangan. Ia mencium dalam bencana itu udara kelapangan dan jalan keluar, baik berupa kebaikan yang tersembunyi dan baik berupa kelapangan yang disegerakan. [8]

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Lihat, al-Fawaa-id, Ibnul Qayyim, hal. 137-139, 178-179, 200-202, al-Jaami’ush Shahiih fil Qadar, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, hal. 11-12, Majmuu’ah Duruus wa Fataawaa al-Haramil Makki, Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, (I/73), al-Qadhaa' wal Qadar, Dr. ‘Umar al-‘Asyqar, hal. 109-112, al-Iiman, Dr. Muhammad Na’im Yasin, dan al-Qadhaa' wal Qadar, Dr. ‘Abdurrahman al-Mahmud, hal. 293-300.
[2]. Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, (VIII/283).
[3]. Lihat, Madaarijus Saalikiin, Ibnul Qayyim, (II/93).
[4]. Yakni, Ibnu Taimiyyah v.
[5]. Madaarijus Saalikiin, (II/218).
[6]. HR. Al-Bukhari, )no. 6594(.
[7]. HR. Al-Bukhari, )no. 6607(.
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/166-199).
Baca Selengkapnya ......

Buah Keimanan Kepada Qadha' Dan Qadar : Kesabaran Dan Ketabahan, Memerangi Keputusasaan, Ridha

Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd

7. Kuat Harapan Dan Berprasangka Baik Kepada Allah.
Orang yang beriman kepada qadar akan berprasangka baik kepada Allah dan sangat berharap kepada-Nya, karena dia mengetahui bahwa Allah tidak menetapkan suatu ketentuan pun melainkan di dalamnya berisikan kesempurnaan keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan.

Ia tidak menghujat Rabb-nya mengenai berbagai qadha' dan qadar yang ditentukan atasnya, dan hal itu mengharuskannya untuk konsisten di sisi-Nya dan ridha kepada apa yang dipilihkan Rabb-nya untuknya, sebagaimana mengharuskan untuknya menunggu kelapangan. Hal itu dapat meringankan beban yang berat, terutama bila disertai harapan yang kuat atau yakin dengan adanya kelapangan. Ia mencium dalam bencana itu udara kelapangan dan jalan keluar, baik berupa kebaikan yang tersembunyi dan baik berupa kelapangan yang disegerakan. [1]

8. Kesabaran Dan Ketabahan.
Iman kepada qadar membuahkan bagi pelakunya ibadah (dalam bentuk) kesabaran terhadap takdir yang menyakitkan. Kesabaran merupakan sifat yang indah dan sifat yang terpuji, yang mempunyai faidah-faidah yang banyak, berbagai manfaat yang mulia, berbagai akibat yang baik, dan berbagai dampak yang terpuji. Setiap manusia harus memiliki kesabaran atas sebagian perkara yang tidak disukainya, baik dengan kesadaran maupun terpaksa. Orang yang mulia akan bersabar dengan kesadarannya, karena dia mengetahui akibat baik dari kesabaran. Dia akan memuji karena adanya musibah itu, dan mencela kegelisahan. Seandainya pun dia tidak bersabar, maka kesedihan itu tidak kembali kepadanya, dan tidak melepaskan diri darinya dengan kebencian. Barangsiapa yang tidak bersabar dengan kesabaran orang-orang yang mulia, maka dia tidak ubahnya dengan binatang ternak. [2]

Amirul Mukminin, ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

“Kami mendapati, bahwa sebaik-baik kehidupan kami (yang kami jalani) adalah dengan kesabaran.” [3]

Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu berkata,


“Kesabaran adalah tunggangan yang tidak pernah terjatuh.” [4]

Al-Hasan rahimahullahu berkata, “Kesabaran adalah salah satu dari perbendaharaan kebaikan, yang tidak diberikan Allah, kecuali kepada hamba yang mulia di sisi-Nya.” [5]

Benarlah apa yang disebutkan oleh seorang penya’ir:

Kesabaran, seperti namanya, adalah pahit rasanya
tetapi akibatnya lebih manis dari madu

Karenanya, Anda melihat orang yang beriman kepada qadar memiliki kesabaran yang membaja, tabah terhadap beban berat, dan kuat menanggung penderitaan.

Berbeda dengan orang yang lemah keimanannya kepada qadar, yang tidak kuat untuk bersabar dan tidak bersabar terdapat suatu masalah yang paling kecil pun yang dihadapinya, karena kelemahan imannya, kelembekan jiwanya, dan kecemasannya yang besar terhadap sesuatu yang kecil. Ketika dia tertimpa sesuatu yang remeh, Anda melihatnya sempit dadanya, sedih hatinya, murung wajahnya, tertunduk penglihatannya, kesedihan menghimpit dadanya, lalu semua hal itu membuatnya tidak bisa tidur dan memeluhkan keningnya. Musibah itu -bahkan yang lebih besar darinya- sekiranya menimpa orang yang lebih kuat keimanan dan ketabahan musibah itu daripadanya, maka dia tidak akan menghiraukannya, hal itu tidak mengusik jiwanya, kelopak matanya masih bisa terpejam, hatinya ridha, dan dirinya pun tetap tenang.

Orang-orang yang tidak beriman kepada takdir akan cemas karena sebab-sebab yang remeh, bahkan mungkin kecemasan tersebut bisa membawa mereka kepada kegilaan, waswas, mengkonsumsi obat-obatan terlarang, dan bahkan bunuh diri.

Karena itu, banyak terjadi kasus bunuh diri di negeri-negeri yang tidak beriman kepada qadha' dan qadar, seperti Amerika, Swedia, Norwegia, dan yang lainnya, bahkan beberapa negara telah sampai kepada keadaan, di mana mereka membuka beberapa rumah sakit untuk bunuh diri.

Seandainya kita membahas sebab-sebab mereka melakukan bunuh diri, niscaya kita melihatnya remeh sekali, yang menyebab-kan tidak ingin melihatnya dan menutup mata darinya. Sebagian mereka bunuh diri karena pinangannya meninggalkannya, sebagian lainnya karena sebab kegagalannya dalam ujian, dan sebagian mereka bunuh diri karena sebab kematian pemusik yang disukainya atau seseorang yang dikaguminya, atau karena sebab kekalahan tim yang didukungnya, dan seterusnya.

Adakalanya bunuh diri dilakukan secara kolektif. Anehnya, bahwa mayoritas kaum yang melakukan bunuh diri bukanlah dari golongan orang miskin, sehingga bisa dikatakan, “Mereka bunuh diri karena penghidupan mereka yang sempit".

Bahkan, mereka adalah berasal dari kalangan elit yang dikenal dengan kekayaannya, orang-orang yang terkenal, bahkan dilakukan para psikiater, yang dianggap bisa memberikan kebahagiaan dan dapat menyelesaikan berbagai problem.

9. Memerangi Keputusasaan.
Orang yang tidak beriman kepada qadar akan tertimpa keputus-asaan, dan keputusasaan tersebut akan terus berlangsung hingga puncaknya. Jika dia tertimpa suatu musibah, maka dia menyangka bahwa hal itu akan memecahkan punggungnya. Jika malapetaka turun kepadanya, maka dia menyangka bahwa hal itu adalah musibah yang terus-menerus yang tidak akan berakhir.

Demikian pula jika dia melihat kekuasaan dan kekuatan kebathilan, sedangkan pengikut kebenaran terlihat lemah dan tidak berdaya, maka dia menyangka bahwa kebathilan akan terus berlangsung dan kebenaran akan sirna.

Putus asa adalah racun yang mematikan dan penjara yang gelap, yang akan memasamkan wajah dan menghalangi jiwa dari kebajikan. Tidak henti-hentinya keputusasaan itu menyertai manusia sehingga menghancurkannya atau menenggelamkan kehidupannya.

Adapun orang yang beriman kepada qadar, maka dia tidak mengenal putus asa, dan engkau tidak melihatnya selain optimis dalam segala keadaannya, menunggu kelapangan dari Rabb-nya, mengetahui bahwa kemenangan itu menyertai kesabaran, dan bahwa bersama kesulitan itu ada kemudahan.

Engkau melihatnya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa akibat yang terbaik itu bagi ketakwaan dan orang-orang yang bertakwa, dan ketentuan Allah mengenai hal itu pasti berlaku. Oleh karena itu, dia tidak berputus asa, meskipun kegelapan kebathilan amat mencekam. Sebab, hati yang bersandar kepada kekuasaan Allah serta kelembutan dan kemurahan-Nya, akan membersihkan noda-noda keputusasaan dan pohon-pohon kemalasan dan menguat-kan “punggung” harapan, yang dengannyalah orang yang berusaha akan masuk menyelami lautan yang dalam dan dengannya akan mampu menghalau binatang buas yang membahayakan dalam perjalanannya.

10. Ridha.
Orang yang beriman kepada qadar, keimanannya tersebut dapat meninggikannya, sehingga menghantarkannya kepada tingkatan ridha. Barangsiapa yang ridha kepada Allah, maka Allah ridha kepadanya, bahkan ridha hamba kepada Allah adalah hasil dari ridha Allah kepadanya. Jadi, ia diliputi dengan dua jenis keridhaan-Nya kepada hamba-Nya: keridhaan sebelumnya, yang mengharuskan ia ridha kepada-Nya dan keridhaan sesudahnya, yang merupakan buah ridhanya kepada-Nya.

Karena itu, ridha adalah pintu Allah yang terbesar, Surga dunia, peristirahatan para ahli ibadah, dan pelipur orang-orang yang rindu. [6]

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Barangsiapa yang memenuhi hatinya dengan ridha kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kecukupan, rasa aman, dan qana’ah, serta mengosongkan hatinya untuk mencintai-Nya, kembali, dan bertawakkal kepada-Nya.

Barangsiapa yang tidak memiliki keridhaan, maka Allah akan memenuhi hatinya dengan hal yang sebaliknya, dan lalai terhadap perkara yang di dalamnya terdapat kebahagiaan dan keberuntungannya.” [7]

Ditanyakan kepada Yahya bin Mu’adz, “Kapankah hamba akan mencapai kedudukan ridha?” Ia menjawab, “Jika ia memposisikan dirinya di atas empat landasan dalam interaksinya dengan Rabb-nya, sehingga ia berucap, ‘Jika Engkau memberikan kepadaku, maka aku menerimanya, jika Engkau menghalangiku, maka aku tetap ridha, jika Engkau meninggalkanku, maka aku tetap beribadah kepada-Mu, dan jika Engkau memerintahkanku, maka aku memenuhi panggilan-Mu.” [8]

Sebagian mereka mengatakan, “Ridhalah kepada Allah dalam segala apa yang Dia perbuat terhadapmu. Sebab, Dia tidak meng-halangimu melainkan untuk memberimu, tidak mengujimu melainkan untuk memberi keselamatan kepadamu, tidak menjadikanmu sakit melainkan untuk memberi kesembuhan kepadamu, dan tidak mematikanmu melainkan untuk menghidupkanmu. Oleh karena itu, janganlah engkau meninggalkan keridhaan kepada-Nya sekejap mata pun, sehingga engkau pun jatuh dalam pandangan-Nya.” [9]

Di antara hal yang semestinya diketahui adalah, bahwa bukan merupakan syarat keridhaan, (yaitu dengan) seorang hamba tidak merasakan kepedihan dan ketidaksenangan, tetapi (yang merupakan syarat adalah apabila) dia tidak menolak ketentuan itu dan tidak pula membencinya. [10]

Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi berkata:
Jika malapetaka sangat keras, maka ringankanlah dengan ridha kepada Allah
maka beruntunglah orang yang ridha lagi merasa diawasi Allah

Betapa banyak kenikmatan yang diiringi dengan ujian kepada manusia
ia tersembunyi, dan ujian itu (sebenarnya adalah) anugrah [11]

Meskipun demikian, hamba tidak dapat keluar dari apa yang telah ditentukan Allah atasnya. Seandainya dia ridha dengan pilihan Allah, maka takdir tetap menimpanya sedangkan ia berada dalam keadaan terpuji, dihargai, dan dilindungi. Jika tidak, maka takdir pun tetap menimpanya, dalam keadaan dia tercela serta tidak dilindungi.

Selama kepasrahan dan ridhanya benar, maka penjagaan dan perlindungan terhadapnya akan menaunginya dalam apa yang ditakdirkan, sehingga dia berada di antara penjagaan dan perlindungan-Nya.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]
__________
Foote Note
[1]. Madaarijus Saalikiin, (II/166-199).
[2]. Lihat, ‘Iddatush Shaabiriin, Ibnul Qayyim, hal. 124 dan Tasliyyah Ahlil Mashaa-ib, al-Munbaji, hal. 135-151.
[3]. ‘Iddatush Shaabiriin, hal. 124.
[4]. Ibid.
[5]. Ibid, hal. 124.
[6]. Lihat, Madaarijus Saalikiin, (II/172).
[7]. Madaarijus Saalikiin, (II/202).
[8]. Madaarijus Saalikiin, (II/172).
[9]. Madaarijus Saalikiin, (II/216).
[10]. Lihat, Madaarijus Saalikiin, (II/169-232), di dalamnya berisikan pembicaraan yang mendetail tentang ridha.
[11]. Bardul Akbaad ‘inda Faqdil Aulaad, Ibnu Nashiruddin ad-Dimasyqi, hal. 37.
Baca Selengkapnya ......
 
Copyright 2009 DADIDUNIA. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan